Kamis, 27 Juli 2017

KONSERVASI BANGUNAN BERSEJARAH DI JAKARTA



BAB I

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak sedikit bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan bersejarah yang dijadikan sebagai identitas dari daerah tersebut.

Pelestarian Benda Cagar Budaya sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1992 khususnya segi arsitektural menjadi salah satu daya tarik tersendiri.Terpeliharanya suatu bangunan kuno dan bersejarah akan mampu menjadi jembatan masa lalu dan masa sekarang. Suatu bangsa akan mampu menjadi besar jika bangsa itu mau berpaling ke masa lalu dan belajar dari perjalanan yang telah dilaluinya.

Preservasi mempunyai tujuan untuk melindungi, memperbaiki bangunan kuno dan bersejarah. Konservasi adalah tindakan untuk memelihara secara utuh bangunan kuno dan bersejarah secara tradisional atau secara modern menggunakan bahan sintetis atau bahan yang ada saat ini.

Istilah bangunan kuno digunakan untuk menunjukkan bangunan atau objek tidak bergerak berupa gedung, permukiman, area bersejarah (situs), artistik, arsitektur, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Istilah perlindungan bangunan kuno adalah aktivitas misalnya restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan konservasi.

Konservasi, termasuk proses pemeliharaan kawasan beserta bangunannya, bertujuan menjaga agar nilai budaya yang tersimpan berupa keindahan, sejarah, ilmu dan kehidupan sosial yang diwariskan generasi lalu, tetap terpelihara untuk generasi masa kini dan mendatang. Konservasi merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas lama yang telah pudar. Termasuk upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah. Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan tersebut. Sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya konsevasi bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada generasi mendatang.

Bertolak belakang dengan diketahuinya indonesia yang kaya akan sejarah dan budaya, ternyata masih banyak bangsa Indonesia yang tidak menyadari akan hal itu. Banyak sekali fenomena-fenomena yang terjadi dan meninbulkan keprihatinan terutama dalam bidang arsitektur bangunan di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. padahal menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta dan Budhihardjo, 1989). Oleh karena itu, konservasi bangunan bersejarah sangat dibutuhkan agar tetap bisa menjaga cagar budaya yang sudah diwariskan oleh para pendahulu kita.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

      2.1 Kriteria Bangunan Bersejarah
Kriteria tersebut sesuai dengan Pasal 8 Perda DKI Jakarta No. 9/1999 tentang Pelestarian dan   Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, penentuan bangunan cagar budaya ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut: 
1. Sejarah
2. Umur
3.Keaslian
4.Kelangkaan  

2.2 Tipologi Bangunan Bersejarah 
Di Indonesia sendiri, terutama di daerah Jakarta dan sekitarnya, bangunanbangunan yang memenuhi kriteria sebagai bangunan kuno dan bersejarah yang harus dilestarikan jumlahnya tidak sedikit dengan berbagai macam tipologi. Berdasarkan sejarah perkembangan arsitektur yanga ada di Indonesia, tipologi bangunan-bangunan tersebut dapat dibagi menjadi berikut (Kemas Ridwan, 5 Maret 2009):
1. Bangunan masyarakat China. 
   ● Bangunan periode VOC (abad XVI-XVII), arsitektur periode pertengahan Eropa. Ciri-ciri bangunan ini adalah kesan tertutup, sedikit bukaan, jendela besar tanpa tritisan, tanpa serambi. 
    ● Bangunan periode negara kolonial (Neo Klasik Eropa). Ciri-ciri bangunan ini adalah atap-atap tritisan, veranda dan jendela- jendela krepyak 
    ● Bangunan modern kolonial (abad XX) Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Art Deco dan Art Nouveau.
2. Bangunan masyarakat China.
    Ciri-ciri bangunan ini adalah berupa shop houses bergaya Cina Selatan, terletak di sekitar core inti wilayah utama suatu daerah. Contohnya: bangunan klenteng yang ada di Petak 9 di daerah Glodok.
3.  Bangunan masyarakat pribumi.
    Ciri-ciri bangunan ini adalah berada di luar benteng, berupa rumah panggung namun ada juga yang langsung menyentuh lantai, menggunakan bahan-bahan alami. Saat ini bangunan dengan tipologi sudah banyak yang punah. D. Bangunan modern Indonesia.
    Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Internasional Style. Contohnya: Gedung BNI 46 yang berada di dekat Stasiun Kota  

2.3 Jenis Kegiatan Pelestaria 
Highfield (1987: 20-21) menjabarkan tingkat perubahan pada tindakan pelestarian dalam tujuh tingkatan, yakni:
1.Perlindungan terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian penyusunnya, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan saranaprasarana. Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan yang memungkinkan terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan dengan kebutuhan lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang dikombinasikan dengan penghawaan alami;

2.  Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan sebagian besar interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Perubahan struktural dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior, atau penambahan tangga baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;

3.  Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan perubahan besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat melibatkan penambahan tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift, demolisi dinding struktur pada interior secara skala yang lebih luas, atau penambahan lantai baru selama sesuai dengan ketinggian lantai aslinya;

4.  Perlindungan seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang terisolasi, seluruh dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi pengembangan ke depannya menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru, bebas dari elemen internal bangunan eksisting;

5.  Perlindungan hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua atau lebih jalan;

6. Perlindungan hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding fasade dari bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini dapat dilakukan apabila bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang penting, tampak bangunan yang penting tersebut menghadap jalan utama dan seluruh sisa tampaknya menempel pada bangunan di sekelilingnya; dan

7.  Opsi paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak memberikan pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan eksisting dan menggantinya dengan bangunan yang baru.
2.4 Manfaat Pelestarian


      Menurut para tokoh mengemukakan manfaat dari pelestarian bangunan tua diantaranya:
      1.Budihardjo (1985) mengemukakan setidaknya tujuh manfaat kegiatan preservasi, antara lain: 
Pelestarian lingkungan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat kesinambungan, member tautan bermakna dengan masa lampau, dan memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan lama tersebut; 
● Di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat seperti sekarang ini, lingkungan lama akan menawarkan suasana permanen yang menyegarkan;
● Teknologi pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai ekonomis di atas lahan berskalabesar ternyata berakhir dengan keseragaman yang membosankan. Upaya-upaya untuk mempertahankan bagian kota yang dibangun dengan skala akrab akan membantu hadirnya sense of place, identitas diri, dan suasana kontras;
● Kota dan lingkungan lama adalah salah satu asset terbesar dalam industry wisata internasional, sehingga perlu dilestarikan; 
● Upaya preservasi dan konservasi merupakan salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang;
● Pengadaan preservasi dan konservasi akan membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologi yang seangat diperlukannya untuk dapat menyentuh, melihat, dan merasakan bukti fisik sesuatu tempat di dalam tradisinya; dan
● Upaya-upaya pelaksanaan preservasi dan konservasi akan membantu terpeliharanya warisan arsitektur, yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau dan melambangkan keabadian serta kesinambungan, yang berbeda dengan keterbatasan kehidupan manusia.

     2. Mills (1994) mengklasifikasikan manfaat pelestarian bangunan dalam tiga bagian, yaitu :
 ● Keuntungan dari sisi ekonomi: Pada prinsipnya, pelestarian memberikan keuntungan dalam hal waktu, karena menghemat antara setengah sampai tiga-perempat waktu yang digunakan untuk demolisi dan konstruksi yang baru, sehingga diikuti oleh keuntungan ekonomis, yakni: Masa pengembangan yang lebih singkat mengurangi biaya pembiayaan projek dan juga mengurangi efek inflasi pada biaya bangunan; dan Klien memiliki bangunan dalam jangka waktu yang lebih cepat, dengan demikian dapat mulai menerima pemasukan dari penggunaan bangunan lebih cepat. Selain itu, biaya untuk mengubah/merehabilitasi bangunan umumnya sekitar separuh dari biaya konstruksi bangunan, karena banyak elemen bangunan yang sudah ada sebelumnya
● Keuntungan dari lingkungan: Bangunan yang mempunyai nilai sejarah atau arsitektural tinggi sebaiknya dijaga, mengingat kontribusinya bagi keramah-tamahan visual bagi kawasan sekitar, bagi kebudayaan, atau bagi interpretasi sejarah. Pelestarian kawasan yang menarik jika dikombinasikan dengan rehabilitasi bangunan tua untuk mengakomodasi fungsi yang modern terkadang bisa diartikan sebagai keuntungan finansial. Konteks fisik suatu bangunan yang telah dilestarikan sama pentingnya dengan nilai fisik bangunan tersebut. Jika suatu bangunan berdiri dekat dengan bangunan tua lain yang menarik secara arsitektural, daya tarik dan nilainya akan meningkat. Pelestarian bangunan tersebut akan nampak, dan idealnya akan memperkuat karakter dan integritas arsitekturalnya. Dalam konteks yang lebih luas, bangunan dapat dilihat sebagai sumber daya yang potensial untuk digunakan kembali (re-use) daripada sumber daya yang dapat tergantikan 
● Keuntungan dari sisi sosial: Menciptakan suatu komunitas yang baru adalah sebuah proses yang rumit dan tidak bisa tercapai seperti yang diharapkan oleh arsitek dan perancang kota. 

3.Menurut Shrivani (1985) pelestarian pada suatu kawasan maupun bangunan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:
● Manfaat kebudayaan yaitu sumber-sumber sejarah yang dilestarikan dapat menjadi sumber pendidikan dan memperkaya estetika
● Manfaat ekonomi yaitu adanya peningkatan nilai properti, peningkatan pada penjualan ritel dan sewa komersil, penanggulangan biaya-biaya relokasi dan peningkatan pada penerima pajak serta pendapatan dari sektor pariwisata; dan
● Manfaat sosial dan perencanaan, karena upaya pelestarian dapat menjadi kekuatan yang tepat dalam memulihkan kepercayaan masyarakat.
Meskipun kegiatan pelestarian bangunan maupun kawasan bersejarah masih kurang dipahami sebagian masyarakat di Indonesia, namun dengan banyaknya manfaat yang didapat melalui upaya pelestarian sepatutnya hal ini mulai dikembangkan dalam pola pikir masyarakat agar masyarakat suatu kota maupun kawasan yang memiliki potensi untuk dilestarikan dapat ikut berperan serta dalam upaya pelestarian bangunan maupun kawasan.
2.5 Kriteria, Tolak Ukur, dan Penggolongan Benda Cagar Budaya 
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
● Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
● Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
● Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
● Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
● Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.
      Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:
● Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
● Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslianya
● Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
2.6 Klarifikasi Bangunan Cagar Budaya di Indonesia 
Berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

Golongan A  Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19): 
● Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah 
● Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya 
● Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/ sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada ● Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya

Golongan B  Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):  
● Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya 
● Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting 
● Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan 
● Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.

Golongan C  Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21): 
● Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
● Detail 7rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan 
● Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan 
● Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.

BAB III
GAMBARAN KAWASAN DAN BANGUNAN BERSEJARAH

3.1  Gedung Ex Harrison dan Crossfield in
Gedung Ex Harrison dan Crossfield in termasuk bangunan cagar budaya golongan B. Bangunan toko bunga ini didirikan pada tahun 1910. Dulu, bangunan lawas ini merupakan kantor milik Harrison & Crosfield, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan teh, kopi, karet, kayu, bahan kimia serta produk pertanian lainnya yang berasal dari Inggris.
Kantor Harrison & Crosfield ini sengaja dibangun di tepi Kali Besar, dekat dengan Hoenderpassarbrug (sekarang dikenal dengan Jembatan Kota Intan) dan tidak begitu jauh dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, bertujuan untuk mengawasi lalu lintas hasil perkebunan milik mereka sendiri serta mengawasi pembelian hasil dari perkebunan milik perusahaan lainnya.
Setelah perkebunan milik Harrison & Crosfield yang ada di Nusantara dilepaskan, bangunan lawas mengalami beberapa alih fungsi maupun penggunannya. Bangunan lawas ini pernah digunakan untuk gudang logistik PT Jasa Raharja, yang kantornya berdampingan dengan bangunan ini. Kemudian pada tahun 2012, bangunan ini sempat kosong.
Kini, bangunan bergaya Art Deco ini menjadi Toko Bunga Mu’is Florist dan terkadang digunakan untuk menyimpan aneka barang juga, seperti kain-kain perca. Namun sayang, bangunan ini kurang terawat dan tampak kusam. Bagian dalamnya pun tak kalah lusuhnya, langit-langit atapnya banyak yang rusak dan interiornya terkesan berantakan.


3.1.1        Analisis Bangunan

1.      Aktivitas
Di dalam bangunan gedung ex Harrison dan Crossfield ini dulunya berfungsi sebagai gudang atau kantor perdangangan milik Belanda. Setelah Indonesia merdeka bangunan ini ditingalkan oleh pemiliknya dan menjadi kosong serta tidak terawat. Sekarang bangunan ini difungsikan sebagai toko bunga. Aktivitas di sekitar gedung ex Harrison dan Crossfield ini juga difungsikan sebagai tempat berjualan para pedagang dan kaki lima sehingga terkadang membuat lingkungan di sekitar bangunan ini menjadi kotor.

Aktivitas yang ada sekarang ini adalah sebagai toko bunga sebenarnya sudah sesuai dengan fungsi dan aktivitas bangunan yang dulu yaitu perdangangan. Oleh karena itu aktivitas perdagangan ini dapat dipertahankan.
 
2.      Parkir
Di gedung ex Harrison dan Crossfield ini tidak memiliki lapangan parkir untuk para pengunjung yang akan mendatangi bangunan, sehingga bagi para pengunjung yang ingin mendatangi bangunan ini harus menggunakan lapangan parkir yang ada di sekitar kawasan Fatahillah kemudian menelusurinya dengan berjalan kaki. Gedung ex Harrison dan Crossfield ini berbatasan langsung dengan jalur pedestrian sehingga tidak memiliki lahan parkir yang memadai.
Tetapi menurut guidelines Kota Tua di kawasan Kali besar ini Bangunan yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Golongan A, B, dan C tidak diwajibkan untuk menyediakan tempat parkir. Sebagai gantinya, perlu disediakan tempat-tempat parkir (umum) oleh pihak pemerintah daerah ataupun badan pengelola kawasan yang mewakili pihak pemerintah. Penggunaan parkir di badan jalan (on street) tidak diperkenankan di Lingkungan Golongan I dan II kecuali di lokasi yang telah disediakan / ditentukan oleh pengelola kawasan

3.      Bentuk


Bangunan gedung ex Harrison dan Crosfield ini tidak memiliki lantai atas (tidak bertingkat). Bangunan ini memiliki bentuk atap limas dengan penutup atapnya yaitu genteng tanah liat. Pada bagian fasad terdapat bentuk kotak-kotak yang menonjol terlihat seperti kolom yang menjadikan bangunan ini terlihat lebih dinamis.
Bentuk fasad bangunan ini terlihat seperti bangunan rumah rakyat biasa yang menggunakan langgam arsitektur Art Deco.

Elemen-elemen yang terdapat dalam fasad bangunan ini adalah sebagai berikut:
      ● Jendela


Pada fasad bangunan ini terdapat dua bentuk jendela, yaitu jendela dengan bukaan setengah lingkaran diaatasnya dan yang tidak ada dengan adanya teralis yang mencirikan langgam art deco.
● Pintu


Pada fasad bangunan ini terdapat satu buah pintu yang kondisinya sudah tidak memiliki daun pintu lagi dan digantikan dengan rolling door besi yang juga sudah rusak. Respon terhapat kondisi ini adalah harus mengganti pintu yang sudah ada dengan daun pintu kayu yang sesuai dan seirama dengan bentuk jendelanya yaitu dengan gaya Art Deco.
●Material Fasad 


Material yang digunakan dalam fasad bangunan ini menggunakan batu bata yang diplester dengan tebal kurang lebih 2-3 cm dan juga material kayu untuk bagian kusen jendela dan pintu. Terdapat juga teralis besi pada setiap jendela-jendelanya.
Penggunaan material-material kayu dapat di cat ulang karena kondisinya yang masih cukup baik, sedangkan pada bagian dinding fasad bangunan harus diperbaiki kembali sesuai dengan kondisi semula karena kerusakan yang ada di dinding fasad sekitar 50% sehingga masih dapat mengikuti pola atau bentuk yang masih utuh.

            5. Warna



Warna yang digunakan pada gedung ex Harrison dan Crossfield ini menggunakan warna coklat tua dipadukan dengan warna putih di kusen-kusen bangunan tersebut. Penggunaan warna ini membuat bangunan memiliki kesan yang sangat tua. Sekarang ini warna-warna yang ada di fasad bangunan sudah banyak yang terkelupas cat-catnya.
Karena tidak ditemukan foto atau hal-hal yang membuktikan bahwa warna yang sekarang ini adalah warna yang sama yang digunakan pada awal penggunaan bangunan ini maka warna coklat tua dan warna putih ini dapat dipertahankan dan dipugar agar fasad bangunan menjadi lebih baik.
Kesimpulan :
Dari pembahasan diatas bahwa bangunan Gedung Ex Harrison dan Crossfield ini memiliki tingkat kerusakan 50% dan masih terdapat bagian-bagian yang cukup baik utuk dipertahankan. Bangunan ini masih bisa dikonservasi sesuai dengan ketentuan bangunan bergolongan B ke bentuk awalnya yang masih bisa terlihat hingga sekarang ini walaupun fungsi bangunannya dapat berbeda dengan yang awal.

3.2  Gedung Jasa Raharja
3.2.1        Identifikasi Bangunan


Berdiri                     : Sekitar 1911
Fungsi                     : Bidang Asuransi Sosial
Milik                       : BUMN
Alamat                    : Jl. Kali Besar Timur No. 10, Jakarta Barat
Kondisi Bangunan  : Cukup baik
Klasifikasi               : Golongan B
Sejarah                  : Sejarah berdirinya Jasa Raharja tidak terlepas dari adanya peristiwa pengambil alihan atau nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda oleh Pemerintah RI. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.3 tahun 1960, jo Pengumuman Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan RI No.12631/BUM II tanggal 9 Februari 1960, terdapat 8 (delapan) perusahaan asuransi yang ditetapkan sebagai Perusahaan Asuransi Kerugian Negara (PAKN).

Gedung ini dibangun sekitar abad ke-19, memiliki desain unik khas Eropa. Langit-langit bangunan yang menjulang tinggi berhiaskan lukisan, dengan jendela berhias kaca patri serta bagian jendela lainnya dihiasi besi bercat keemasan dengan ornamen unik yang selaras dengan ukiran pada tangga bangunan. Pada dinding masih menempel tanda (sejenis prasasti) yang menandai keberadaan bangunan yang dipercantik bentuk hiasan yang sangat klasik. Bangunan ini merupakan bagian dari lima nama pemilik yang terdata, yaitu PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang memiliki 16 gedung.

3.2.2        Sebelum di Revitalisasi


Sebelum direvitalisasi, bangunan ini tergolong rawan roboh, sebelum bangnan ini dikonservasi, atap ini sudah tidak ada dan tidak memiliki fungsi, hanya terdapat sisa-sisa dinding yang belakangnya kosong. Setelah dikonservasi, bangunan ini bersifat sama seperti bangunan yang lama dari segi fasad, hanya saja menggunakan teknologi bangunan yang lebih modern. Dikarenakan bangunan ini memiliki klasifikasi pemugaran B

Pemugaran golongan B bersifat:
●Mempnyai nilai keaslian tetapi tidak bersejarah
●Dilarang dibongkar secara sengaja
●Harus seperti semula seperti aslinya walapun rubuh 
●Pemeliharaan dan perawatan bangunan tidak boleh mengbah pola tapak depan, atap, dan warna, dan mempertahankan detail.
●Tata ruang dalam dapat diubah sesuai pengguna, tetapi tidak mengubah struktur utama bangunan.

            3.2.3        Sesudah di Revitalisasi
            
            1.   Bentuk
Bentuk bangunan merupakan bergayakan bangunan kolonial Belanda dan bersifat simetris. Bangunan memiliki 3 lantai dan 1 dormer, pada setiap lantainya, setiap jendela memiliki irama yang berbeda. Atapnya menggunakan atap limas dengan bahan atap tanah liat dan menggunakan kubah pada dormer. Bentuk bangunan pada tahun 1920 dengan 2016 tidak ada yang diubah, mengikuti bentuk bangunan lama atau seperti semula.

2.   Elemen Fasad
       ●     Jendela

Elemen jendela yang digunakan pada bangunan berupa jendela bouvenlicht. Bouvenlicht tidak tergantung dari keadaan cuaca, berkaitan fungsinya dengan kesehatan, akan tetapi apabila dikaitkan dengan kenyamanan termal, maka bouvenlicht sangat bergantung pada kondisi cuaca. Bouvenlicht berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar ke dalam bangunan, dan sebaliknya, oleh karena itu, ukuran dari bouvenlicht harus disesuaikan dengan kondisi cuaca. Dalam penggunaannya, dapat diusahakan agar bouvenlicht terhindar dari sinar matahari secara langsung. Rangka jendela setelah direvitalisasi menggunakan rangka aluminium dengan mengikuti bentuk jendela lama seperti aslinya.
            ●  Dormer
Dormer/Cerobong asap semu, berfungsi untuk penghawaan dan pencahayaan. Di   tempat asalnya, Belanda, dormer biasanya menjulang tinggi dan digunakan sebagai ruang   atau cerobong asap untuk perapian. Biasanya diwujudkan dalam bentuk hiasan batu yang diberi ornamen berbentuk bunga atau sulur-suluran. Sebelum direvitalisasi, dormer dan atap bangunan sudah rubuh, dan setelah direvitalisasi dibangun kembali mengikuti bentuk yang lama.
            ●  Pintu
Bentuk pintu juga sama dengan jendela, berupa melengkung agar terjadinya pertukaran udara yang seirama dengan elemen jendela yang lainnya. Setelah direvitalisasi, pintu menggunakan rangka aluminium.
            ● Warna
Warna bangunan menunjukkan warna putih yang memang warna primer pada bangunan kolonial. Dan juga dikarenakan fungsi bangunan ini memang untuk asuransi dan milik BUMN, warna putih menandakan warna formal pada bangunan.

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah bahwa bangunan gedung Jasa Raharja sempat memiliki kerusakan dan rawan roboh, setelah direvitalisasi banyak bagian-bagian bangunan sama dengan bentuk bangunan lamanya, dikarenakan sifat pemugaran revitalisasi bangunan ini tergolong B, atau berarti harus bersifat asli dengan bangunan lamanya walaupun sudah hancur dan dapat diinovasikan dengan penggunaan material yang lebih modern.

3.3     Gedung Banteng

Gedung Banteng atau Banteng Building merupakan sebuah bangunan tua yang berada di wilayah jalan Kali Besar. Lokasi gedung ini berada di selatan Toko Merah, atau sebelah utara gedung Singa Kuning.
Dulu, gedung ini merupakan gedung milik NV Gebr. Sutorius & Co., yang diperkirakan dibangun pada abad 19. Hal ini bisa ditelusur pada koran berbahasa Melayu, Pemberita Betawi, yang terbit antara tahun 1884 hingga 1916. Dalam surat kabar tersebut, toko-toko serba ada di Batavia mengiklankan produk-produk yang ada di tokonya kepada masyarakat luas agar terkenal dan banyak pembeli. Toko serba ada yang ada di Batavia di antaranya Toko Gebr. Sitorus & Co. di daerah Kali Besar Barat. Toko ini menjual sejumlah besar lini produk, biasanya meliputi pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan barang-barang keperluan rumah tangga.
Orang Eropa, yang pada umumnya didominasi oleh orang-orang Belanda yang bermukim di Batavia, banyak yang berbelanja di Toko Gebr. Sitorus & Co. ini. Mereka berbelanja untuk mencari barang kebutuhan yang diperlukan, seperti makanan dan minuman dalam kaleng, barang-barang curah, kaus kaki maupun barang kebutuhan lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya toko serba ada ini kala itu.
Kini, gedung yang pernah digunakan untuk toko serba ada yang dikelola oleh NV Gebr. Sitorus & Co. ini menjadi kantor sejumlah advokat dan pengacara maupun notaris, seperti Kantor Advokat dan Pengacara Sjahrial Litoto, S.H. & Associates, dan Kantor Notaris Besri Zakaria, S.H. Sedangkan, di lantai satunya digunakan untuk Kantor Jasa Logistik TIKI.

3.3.1        Konservasi Gedung Banteng 
            Sebagai bangunan tua, tentu gedung banteng masuk kedalam satu diantara bangunan konservasi yang perlu dilestarikan. Bahkan, menurut data dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, gedung ini masuk ke dalam golongan A.

Pada golongan A, konservasi bangunan diatur cukup ketat, dimana bangunan harus tidak boleh dibongkar atau diubah, namun dipertahankan sesuai dengan aslinya. Begitu pun dalam hal perawatan, dimana bahan yang digunakan harus sejenis atau berkarakter sama dengan aslinya, serta juga harus tetap mempertahankan ornament-ornamen yang ada. Namun, fungsi bangunan dapat disesuaikan atau diubah sesuai kebutuhan.
●    Fasad
                Masuknya Gedung Banteng ke dalam bangunan konservasi tipe A, terlihat dari fasadnya yang masih kental dengan gaya arsitektur kolonial. Atap bangunan berbentuk pelana, dengan sopi-sopi yang berada disisi kanan dan kiri (bukan depan). Penutup atap menggunakan genteng tanah liat yang terlihat menghitam karena pengaruh usia dan cuaca. Di bagian dinding terdapat bukaan berupa 3 buah jendela kayu dengan kisi-kisi. Dinding bangunan di cat menggunakan warna putih, dan terlihat sudah pudar dan mengelupas disana-sini.
            ●     Fungsi
                   Gedung Banteng saat ini telah mengalami perubahan fungsi. Hal ini dapat dilakukan pada bangunan golongan A, supaya bangunan dapat berfungsi sesuai kebutuhan. Dulu bangunan ini merupakan sebuah toko serba ada, namun kini telah berubah fungsi menjadi kantor firma hukum dan notaris, serta jasa logistik Tiki.
Dengan adanya penyesuaian fungsi, bangunan tua diharapkan dapat dipergunakan, sehingga lebih terawat dan tidak cepat rusak. Dengan begini, warisan arsitektur yang penuh nilai-nilai sejarah dan budaya dapat dipertahankan dan dilestarikan.


Sumber :














 
 
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar