BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak sedikit bangunan
bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di seluruh penjuru
Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan bersejarah yang
dijadikan sebagai identitas dari daerah tersebut.
Pelestarian Benda Cagar
Budaya sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1992 khususnya segi
arsitektural menjadi salah satu daya tarik tersendiri.Terpeliharanya suatu
bangunan kuno dan bersejarah akan mampu menjadi jembatan masa lalu dan masa
sekarang. Suatu bangsa akan mampu menjadi besar jika bangsa itu mau
berpaling ke masa lalu dan belajar dari perjalanan yang telah dilaluinya.
Preservasi mempunyai tujuan untuk
melindungi, memperbaiki bangunan kuno dan bersejarah. Konservasi adalah
tindakan untuk memelihara secara utuh bangunan kuno dan bersejarah secara
tradisional atau secara modern menggunakan bahan sintetis atau bahan yang ada
saat ini.
Istilah bangunan kuno digunakan untuk
menunjukkan bangunan atau objek tidak bergerak berupa gedung, permukiman, area
bersejarah (situs), artistik, arsitektur, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan.
Istilah perlindungan bangunan kuno adalah aktivitas misalnya restorasi,
renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan konservasi.
Konservasi, termasuk proses
pemeliharaan kawasan beserta bangunannya, bertujuan menjaga agar nilai
budaya yang tersimpan berupa keindahan, sejarah, ilmu dan kehidupan sosial yang
diwariskan generasi lalu, tetap terpelihara untuk generasi masa kini dan
mendatang. Konservasi merupakan suatu
upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas lama yang telah pudar. Termasuk
upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah. Peningkatan nilai-nilai estetis
dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting untuk menarik
kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan tersebut.
Sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya konsevasi bangunan
bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari
bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada
generasi mendatang.
Bertolak
belakang dengan diketahuinya indonesia yang kaya akan sejarah dan budaya,
ternyata masih banyak bangsa Indonesia yang tidak menyadari akan hal itu.
Banyak sekali fenomena-fenomena yang terjadi dan meninbulkan keprihatinan
terutama dalam bidang arsitektur bangunan di Indonesia. Seperti yang
dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat
ini banyak yang menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah
dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. padahal
menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah
satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya
bangunan kuno bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah dari suatu tempat yang
sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan
erosi identitas budaya (Sidharta dan Budhihardjo, 1989). Oleh karena itu,
konservasi bangunan bersejarah sangat dibutuhkan agar tetap bisa menjaga cagar
budaya yang sudah diwariskan oleh para pendahulu kita.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
Kriteria tersebut sesuai dengan Pasal 8
Perda DKI Jakarta No. 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan
Bangunan Cagar Budaya, penentuan bangunan cagar budaya ditetapkan berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
1. Sejarah
2. Umur
3.Keaslian
4.Kelangkaan
2.2 Tipologi Bangunan Bersejarah
Di Indonesia sendiri, terutama di daerah Jakarta dan sekitarnya, bangunanbangunan yang memenuhi kriteria sebagai bangunan kuno dan bersejarah yang harus dilestarikan jumlahnya tidak sedikit dengan berbagai macam tipologi. Berdasarkan sejarah perkembangan arsitektur yanga ada di Indonesia, tipologi bangunan-bangunan tersebut dapat dibagi menjadi berikut (Kemas Ridwan, 5 Maret 2009):
2.2 Tipologi Bangunan Bersejarah
Di Indonesia sendiri, terutama di daerah Jakarta dan sekitarnya, bangunanbangunan yang memenuhi kriteria sebagai bangunan kuno dan bersejarah yang harus dilestarikan jumlahnya tidak sedikit dengan berbagai macam tipologi. Berdasarkan sejarah perkembangan arsitektur yanga ada di Indonesia, tipologi bangunan-bangunan tersebut dapat dibagi menjadi berikut (Kemas Ridwan, 5 Maret 2009):
1. Bangunan
masyarakat China.
● Bangunan periode VOC (abad XVI-XVII), arsitektur periode pertengahan Eropa. Ciri-ciri bangunan ini adalah kesan tertutup, sedikit bukaan, jendela besar tanpa tritisan, tanpa serambi.
● Bangunan periode negara kolonial (Neo Klasik Eropa). Ciri-ciri bangunan ini adalah atap-atap tritisan, veranda dan jendela- jendela krepyak
● Bangunan modern kolonial (abad XX) Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Art Deco dan Art Nouveau.
● Bangunan periode VOC (abad XVI-XVII), arsitektur periode pertengahan Eropa. Ciri-ciri bangunan ini adalah kesan tertutup, sedikit bukaan, jendela besar tanpa tritisan, tanpa serambi.
● Bangunan periode negara kolonial (Neo Klasik Eropa). Ciri-ciri bangunan ini adalah atap-atap tritisan, veranda dan jendela- jendela krepyak
● Bangunan modern kolonial (abad XX) Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Art Deco dan Art Nouveau.
2. Bangunan
masyarakat China.
Ciri-ciri bangunan ini adalah berupa shop houses bergaya Cina Selatan, terletak
di sekitar core inti wilayah utama suatu daerah. Contohnya: bangunan klenteng
yang ada di Petak 9 di daerah Glodok.
3. Bangunan
masyarakat pribumi.
Ciri-ciri bangunan ini adalah berada di luar benteng, berupa rumah panggung
namun ada juga yang langsung menyentuh lantai, menggunakan bahan-bahan alami.
Saat ini bangunan dengan tipologi sudah banyak yang punah. D. Bangunan modern
Indonesia.
Ciri-ciri bangunan ini adalah bergaya Internasional Style. Contohnya:
Gedung BNI 46 yang berada di dekat Stasiun Kota
2.3 Jenis
Kegiatan Pelestaria
Highfield (1987: 20-21) menjabarkan tingkat perubahan pada tindakan
pelestarian dalam tujuh tingkatan, yakni:
1.Perlindungan
terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian penyusunnya,
dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan saranaprasarana.
Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan yang memungkinkan
terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan dengan kebutuhan
lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang dikombinasikan dengan
penghawaan alami;
2. Perlindungan
terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan sebagian besar
interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan memperbaiki
finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Perubahan struktural
dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior, atau penambahan tangga
baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;
3. Perlindungan
terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan perubahan
besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana
saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat melibatkan penambahan
tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift, demolisi dinding struktur
pada interior secara skala yang lebih luas, atau penambahan lantai baru selama
sesuai dengan ketinggian lantai aslinya;
4. Perlindungan
seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan
interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasad
yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang terisolasi,
seluruh dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi pengembangan ke
depannya menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru, bebas dari elemen
internal bangunan eksisting;
5. Perlindungan
hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting, dan demolisi
total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama sekali baru di
belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada
bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua atau lebih jalan;
6. Perlindungan
hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding fasade dari bangunan
eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan membangun bangunan yang
sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini dapat dilakukan apabila
bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang penting, tampak bangunan yang
penting tersebut menghadap jalan utama dan seluruh sisa tampaknya menempel pada
bangunan di sekelilingnya; dan
7. Opsi
paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak memberikan pilihan
untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan eksisting dan
menggantinya dengan bangunan yang baru.
2.4 Manfaat
Pelestarian
Menurut para tokoh mengemukakan manfaat
dari pelestarian bangunan tua diantaranya:
1.Budihardjo
(1985) mengemukakan setidaknya tujuh manfaat kegiatan preservasi, antara lain:
● Pelestarian lingkungan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat kesinambungan, member tautan bermakna dengan masa lampau, dan memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan lama tersebut;
● Di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat seperti sekarang ini, lingkungan lama akan menawarkan suasana permanen yang menyegarkan;
● Teknologi pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai ekonomis di atas lahan berskalabesar ternyata berakhir dengan keseragaman yang membosankan. Upaya-upaya untuk mempertahankan bagian kota yang dibangun dengan skala akrab akan membantu hadirnya sense of place, identitas diri, dan suasana kontras;
● Kota dan lingkungan lama adalah salah satu asset terbesar dalam industry wisata internasional, sehingga perlu dilestarikan;
● Upaya preservasi dan konservasi merupakan salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang;
● Pengadaan preservasi dan konservasi akan membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologi yang seangat diperlukannya untuk dapat menyentuh, melihat, dan merasakan bukti fisik sesuatu tempat di dalam tradisinya; dan
● Upaya-upaya pelaksanaan preservasi dan konservasi akan membantu terpeliharanya warisan arsitektur, yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau dan melambangkan keabadian serta kesinambungan, yang berbeda dengan keterbatasan kehidupan manusia.
● Pelestarian lingkungan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat kesinambungan, member tautan bermakna dengan masa lampau, dan memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan lama tersebut;
● Di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat seperti sekarang ini, lingkungan lama akan menawarkan suasana permanen yang menyegarkan;
● Teknologi pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai ekonomis di atas lahan berskalabesar ternyata berakhir dengan keseragaman yang membosankan. Upaya-upaya untuk mempertahankan bagian kota yang dibangun dengan skala akrab akan membantu hadirnya sense of place, identitas diri, dan suasana kontras;
● Kota dan lingkungan lama adalah salah satu asset terbesar dalam industry wisata internasional, sehingga perlu dilestarikan;
● Upaya preservasi dan konservasi merupakan salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang;
● Pengadaan preservasi dan konservasi akan membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologi yang seangat diperlukannya untuk dapat menyentuh, melihat, dan merasakan bukti fisik sesuatu tempat di dalam tradisinya; dan
● Upaya-upaya pelaksanaan preservasi dan konservasi akan membantu terpeliharanya warisan arsitektur, yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau dan melambangkan keabadian serta kesinambungan, yang berbeda dengan keterbatasan kehidupan manusia.
2. Mills
(1994) mengklasifikasikan manfaat pelestarian bangunan dalam tiga bagian, yaitu :
● Keuntungan dari sisi ekonomi: Pada prinsipnya, pelestarian memberikan keuntungan dalam hal waktu, karena menghemat antara setengah sampai tiga-perempat waktu yang digunakan untuk demolisi dan konstruksi yang baru, sehingga diikuti oleh keuntungan ekonomis, yakni: Masa pengembangan yang lebih singkat mengurangi biaya pembiayaan projek dan juga mengurangi efek inflasi pada biaya bangunan; dan Klien memiliki bangunan dalam jangka waktu yang lebih cepat, dengan demikian dapat mulai menerima pemasukan dari penggunaan bangunan lebih cepat. Selain itu, biaya untuk mengubah/merehabilitasi bangunan umumnya sekitar separuh dari biaya konstruksi bangunan, karena banyak elemen bangunan yang sudah ada sebelumnya
● Keuntungan dari lingkungan: Bangunan yang mempunyai nilai sejarah atau arsitektural tinggi sebaiknya dijaga, mengingat kontribusinya bagi keramah-tamahan visual bagi kawasan sekitar, bagi kebudayaan, atau bagi interpretasi sejarah. Pelestarian kawasan yang menarik jika dikombinasikan dengan rehabilitasi bangunan tua untuk mengakomodasi fungsi yang modern terkadang bisa diartikan sebagai keuntungan finansial. Konteks fisik suatu bangunan yang telah dilestarikan sama pentingnya dengan nilai fisik bangunan tersebut. Jika suatu bangunan berdiri dekat dengan bangunan tua lain yang menarik secara arsitektural, daya tarik dan nilainya akan meningkat. Pelestarian bangunan tersebut akan nampak, dan idealnya akan memperkuat karakter dan integritas arsitekturalnya. Dalam konteks yang lebih luas, bangunan dapat dilihat sebagai sumber daya yang potensial untuk digunakan kembali (re-use) daripada sumber daya yang dapat tergantikan
● Keuntungan dari sisi sosial: Menciptakan suatu komunitas yang baru adalah sebuah proses yang rumit dan tidak bisa tercapai seperti yang diharapkan oleh arsitek dan perancang kota.
● Keuntungan dari sisi ekonomi: Pada prinsipnya, pelestarian memberikan keuntungan dalam hal waktu, karena menghemat antara setengah sampai tiga-perempat waktu yang digunakan untuk demolisi dan konstruksi yang baru, sehingga diikuti oleh keuntungan ekonomis, yakni: Masa pengembangan yang lebih singkat mengurangi biaya pembiayaan projek dan juga mengurangi efek inflasi pada biaya bangunan; dan Klien memiliki bangunan dalam jangka waktu yang lebih cepat, dengan demikian dapat mulai menerima pemasukan dari penggunaan bangunan lebih cepat. Selain itu, biaya untuk mengubah/merehabilitasi bangunan umumnya sekitar separuh dari biaya konstruksi bangunan, karena banyak elemen bangunan yang sudah ada sebelumnya
● Keuntungan dari lingkungan: Bangunan yang mempunyai nilai sejarah atau arsitektural tinggi sebaiknya dijaga, mengingat kontribusinya bagi keramah-tamahan visual bagi kawasan sekitar, bagi kebudayaan, atau bagi interpretasi sejarah. Pelestarian kawasan yang menarik jika dikombinasikan dengan rehabilitasi bangunan tua untuk mengakomodasi fungsi yang modern terkadang bisa diartikan sebagai keuntungan finansial. Konteks fisik suatu bangunan yang telah dilestarikan sama pentingnya dengan nilai fisik bangunan tersebut. Jika suatu bangunan berdiri dekat dengan bangunan tua lain yang menarik secara arsitektural, daya tarik dan nilainya akan meningkat. Pelestarian bangunan tersebut akan nampak, dan idealnya akan memperkuat karakter dan integritas arsitekturalnya. Dalam konteks yang lebih luas, bangunan dapat dilihat sebagai sumber daya yang potensial untuk digunakan kembali (re-use) daripada sumber daya yang dapat tergantikan
● Keuntungan dari sisi sosial: Menciptakan suatu komunitas yang baru adalah sebuah proses yang rumit dan tidak bisa tercapai seperti yang diharapkan oleh arsitek dan perancang kota.
3.Menurut
Shrivani (1985) pelestarian pada suatu kawasan maupun bangunan dapat memberikan
beberapa manfaat antara lain:
● Manfaat kebudayaan yaitu sumber-sumber sejarah yang dilestarikan dapat menjadi sumber pendidikan dan memperkaya estetika
● Manfaat ekonomi yaitu adanya peningkatan nilai properti, peningkatan pada penjualan ritel dan sewa komersil, penanggulangan biaya-biaya relokasi dan peningkatan pada penerima pajak serta pendapatan dari sektor pariwisata; dan
● Manfaat sosial dan perencanaan, karena upaya pelestarian dapat menjadi kekuatan yang tepat dalam memulihkan kepercayaan masyarakat.
● Manfaat kebudayaan yaitu sumber-sumber sejarah yang dilestarikan dapat menjadi sumber pendidikan dan memperkaya estetika
● Manfaat ekonomi yaitu adanya peningkatan nilai properti, peningkatan pada penjualan ritel dan sewa komersil, penanggulangan biaya-biaya relokasi dan peningkatan pada penerima pajak serta pendapatan dari sektor pariwisata; dan
● Manfaat sosial dan perencanaan, karena upaya pelestarian dapat menjadi kekuatan yang tepat dalam memulihkan kepercayaan masyarakat.
Meskipun kegiatan pelestarian bangunan maupun kawasan bersejarah masih
kurang dipahami sebagian masyarakat di Indonesia, namun dengan banyaknya
manfaat yang didapat melalui upaya pelestarian sepatutnya hal ini mulai
dikembangkan dalam pola pikir masyarakat agar masyarakat suatu kota maupun
kawasan yang memiliki potensi untuk dilestarikan dapat ikut berperan serta
dalam upaya pelestarian bangunan maupun kawasan.
2.5 Kriteria,
Tolak Ukur, dan Penggolongan Benda Cagar Budaya
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
● Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
● Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
● Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
● Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
● Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:
● Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
● Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
● Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
● Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
● Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.
Dari kriteria dan tolok ukur di atas
lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:
● Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
● Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslianya
● Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
● Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
● Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslianya
● Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
2.6 Klarifikasi
Bangunan Cagar Budaya di Indonesia
Berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
Golongan A Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
● Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah
● Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya
● Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/ sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada ● Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya
Golongan B Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
● Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya
● Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting
● Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan
● Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.
Golongan C Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):
● Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
● Detail 7rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan
● Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
● Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.
Berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
Golongan A Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
● Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah
● Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya
● Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/ sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada ● Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya
Golongan B Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
● Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya
● Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting
● Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan
● Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.
Golongan C Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):
● Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
● Detail 7rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan
● Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
● Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.
BAB III
GAMBARAN KAWASAN DAN BANGUNAN BERSEJARAH
3.1
Gedung Ex Harrison dan Crossfield in
Gedung
Ex Harrison dan Crossfield in termasuk bangunan cagar budaya golongan B.
Bangunan toko bunga ini didirikan pada tahun 1910. Dulu, bangunan lawas ini merupakan kantor
milik Harrison & Crosfield, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan teh, kopi, karet, kayu, bahan kimia serta produk pertanian lainnya
yang berasal dari Inggris.
Kantor Harrison & Crosfield ini sengaja
dibangun di tepi Kali Besar, dekat dengan Hoenderpassarbrug (sekarang
dikenal dengan Jembatan Kota Intan) dan tidak begitu jauh dengan Pelabuhan
Sunda Kelapa, bertujuan untuk mengawasi lalu lintas hasil perkebunan milik
mereka sendiri serta mengawasi pembelian hasil dari perkebunan milik perusahaan
lainnya.
Setelah perkebunan milik Harrison &
Crosfield yang ada di Nusantara dilepaskan, bangunan lawas mengalami beberapa
alih fungsi maupun penggunannya. Bangunan lawas ini pernah digunakan untuk gudang logistik
PT Jasa Raharja, yang kantornya berdampingan dengan bangunan ini. Kemudian pada
tahun 2012, bangunan ini sempat kosong.
Kini, bangunan bergaya Art Deco ini menjadi Toko
Bunga Mu’is Florist dan terkadang digunakan untuk menyimpan aneka barang juga,
seperti kain-kain perca. Namun sayang, bangunan ini kurang terawat dan tampak
kusam. Bagian dalamnya pun tak kalah lusuhnya, langit-langit atapnya banyak
yang rusak dan interiornya terkesan berantakan.
3.1.1
Analisis Bangunan
1.
Aktivitas
Di dalam bangunan gedung ex
Harrison dan Crossfield ini dulunya berfungsi sebagai gudang atau kantor perdangangan
milik Belanda. Setelah Indonesia merdeka bangunan ini ditingalkan oleh
pemiliknya dan menjadi kosong serta tidak terawat. Sekarang bangunan ini
difungsikan sebagai toko bunga. Aktivitas di sekitar gedung ex Harrison dan
Crossfield ini juga difungsikan sebagai tempat berjualan para pedagang dan kaki
lima sehingga terkadang membuat lingkungan di sekitar bangunan ini menjadi
kotor.
Aktivitas yang ada sekarang ini
adalah sebagai toko bunga sebenarnya sudah sesuai dengan fungsi dan aktivitas
bangunan yang dulu yaitu perdangangan. Oleh karena itu aktivitas perdagangan
ini dapat dipertahankan.
2.
Parkir
Di gedung ex Harrison dan
Crossfield ini tidak memiliki lapangan parkir untuk para pengunjung yang akan
mendatangi bangunan, sehingga bagi para pengunjung yang ingin mendatangi
bangunan ini harus menggunakan lapangan parkir yang ada di sekitar kawasan
Fatahillah kemudian menelusurinya dengan berjalan kaki. Gedung ex Harrison dan
Crossfield ini berbatasan langsung dengan jalur pedestrian sehingga tidak
memiliki lahan parkir yang memadai.
Tetapi menurut guidelines Kota Tua di kawasan
Kali besar ini Bangunan yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya
Golongan A, B, dan C tidak diwajibkan untuk menyediakan tempat parkir. Sebagai
gantinya, perlu disediakan tempat-tempat parkir (umum) oleh pihak pemerintah
daerah ataupun badan pengelola kawasan yang mewakili pihak pemerintah.
Penggunaan parkir di badan jalan (on street)
tidak diperkenankan di Lingkungan Golongan I dan II kecuali di lokasi yang
telah disediakan / ditentukan oleh pengelola kawasan
3.
Bentuk
Bangunan gedung ex Harrison dan
Crosfield ini tidak memiliki lantai atas (tidak bertingkat). Bangunan ini
memiliki bentuk atap limas dengan penutup atapnya yaitu genteng tanah liat.
Pada bagian fasad terdapat bentuk kotak-kotak yang menonjol terlihat seperti
kolom yang menjadikan bangunan ini terlihat lebih dinamis.
Bentuk fasad bangunan ini terlihat seperti
bangunan rumah rakyat biasa yang menggunakan langgam arsitektur Art Deco.
Elemen-elemen yang terdapat dalam fasad
bangunan ini adalah sebagai berikut:
● Jendela
Pada fasad bangunan ini terdapat dua bentuk
jendela, yaitu jendela dengan bukaan setengah lingkaran diaatasnya dan yang tidak
ada dengan adanya teralis yang mencirikan langgam art deco.
● Pintu
Pada fasad bangunan ini terdapat satu buah
pintu yang kondisinya sudah tidak memiliki daun pintu lagi dan digantikan
dengan rolling door besi
yang juga sudah rusak. Respon terhapat kondisi ini adalah harus mengganti pintu
yang sudah ada dengan daun pintu kayu yang sesuai dan seirama dengan bentuk
jendelanya yaitu dengan gaya Art Deco.
●Material Fasad
Material yang digunakan dalam
fasad bangunan ini menggunakan batu bata yang diplester dengan tebal kurang lebih
2-3 cm dan juga material kayu untuk bagian kusen jendela dan pintu. Terdapat
juga teralis besi pada setiap jendela-jendelanya.
Penggunaan material-material kayu
dapat di cat ulang karena kondisinya yang masih cukup baik, sedangkan pada bagian
dinding fasad bangunan harus diperbaiki kembali sesuai dengan kondisi semula
karena kerusakan yang ada di dinding fasad sekitar 50% sehingga masih dapat
mengikuti pola atau bentuk yang masih utuh.
5. Warna
Warna yang digunakan pada gedung ex Harrison
dan Crossfield ini menggunakan warna coklat tua dipadukan dengan warna putih di
kusen-kusen bangunan tersebut. Penggunaan warna ini membuat bangunan memiliki
kesan yang sangat tua. Sekarang ini warna-warna yang ada di fasad bangunan
sudah banyak yang terkelupas cat-catnya.
Karena tidak ditemukan foto atau hal-hal yang
membuktikan bahwa warna yang sekarang ini adalah warna yang sama yang digunakan
pada awal penggunaan bangunan ini maka warna coklat tua dan warna putih ini
dapat dipertahankan dan dipugar agar fasad bangunan menjadi lebih baik.
Kesimpulan :
Dari
pembahasan diatas bahwa bangunan Gedung Ex Harrison dan Crossfield ini memiliki
tingkat kerusakan 50% dan masih terdapat bagian-bagian yang cukup baik utuk
dipertahankan. Bangunan ini masih bisa dikonservasi sesuai dengan ketentuan
bangunan bergolongan B ke bentuk awalnya yang masih bisa terlihat hingga
sekarang ini walaupun fungsi bangunannya dapat berbeda dengan yang awal.
3.2 Gedung Jasa
Raharja
3.2.1
Identifikasi Bangunan
Berdiri : Sekitar 1911
Fungsi : Bidang
Asuransi Sosial
Milik : BUMN
Alamat : Jl. Kali Besar
Timur No. 10, Jakarta Barat
Kondisi
Bangunan : Cukup baik
Klasifikasi : Golongan B
Sejarah : Sejarah
berdirinya Jasa Raharja tidak terlepas dari adanya peristiwa pengambil alihan
atau nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda oleh Pemerintah RI.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.3 tahun 1960, jo Pengumuman
Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan RI No.12631/BUM II tanggal
9 Februari 1960, terdapat 8 (delapan) perusahaan asuransi yang ditetapkan
sebagai Perusahaan Asuransi Kerugian Negara (PAKN).
Gedung ini
dibangun sekitar abad ke-19, memiliki desain unik khas Eropa. Langit-langit
bangunan yang menjulang tinggi berhiaskan lukisan, dengan jendela berhias kaca
patri serta bagian jendela lainnya dihiasi besi bercat keemasan dengan ornamen
unik yang selaras dengan ukiran pada tangga bangunan. Pada dinding masih
menempel tanda (sejenis prasasti) yang menandai keberadaan bangunan yang
dipercantik bentuk hiasan yang sangat klasik. Bangunan ini merupakan bagian
dari lima nama pemilik yang terdata, yaitu PT Perusahaan Perdagangan Indonesia
(PPI) yang memiliki 16 gedung.
3.2.2
Sebelum di Revitalisasi
Sebelum
direvitalisasi, bangunan ini tergolong rawan roboh, sebelum bangnan ini
dikonservasi, atap ini sudah tidak ada dan tidak memiliki fungsi, hanya
terdapat sisa-sisa dinding yang belakangnya kosong. Setelah dikonservasi,
bangunan ini bersifat sama seperti bangunan yang lama dari segi fasad, hanya
saja menggunakan teknologi bangunan yang lebih modern. Dikarenakan bangunan ini
memiliki klasifikasi pemugaran B
Pemugaran
golongan B bersifat:
●Mempnyai nilai keaslian tetapi tidak
bersejarah
●Dilarang dibongkar secara sengaja
●Harus seperti semula seperti aslinya
walapun rubuh
●Pemeliharaan dan perawatan bangunan
tidak boleh mengbah pola tapak depan, atap, dan warna, dan mempertahankan
detail.
●Tata ruang dalam dapat diubah sesuai
pengguna, tetapi tidak mengubah struktur utama bangunan.
Bentuk
bangunan merupakan bergayakan bangunan kolonial Belanda dan bersifat simetris.
Bangunan memiliki 3 lantai dan 1 dormer, pada setiap lantainya, setiap jendela
memiliki irama yang berbeda. Atapnya menggunakan atap limas dengan bahan atap
tanah liat dan menggunakan kubah pada dormer. Bentuk bangunan pada tahun 1920
dengan 2016 tidak ada yang diubah, mengikuti bentuk bangunan lama atau seperti
semula.
2. Elemen Fasad
● Jendela
● Jendela
Elemen
jendela yang digunakan pada bangunan berupa jendela bouvenlicht. Bouvenlicht
tidak tergantung dari keadaan cuaca, berkaitan fungsinya dengan kesehatan, akan
tetapi apabila dikaitkan dengan kenyamanan termal, maka bouvenlicht sangat
bergantung pada kondisi cuaca. Bouvenlicht berfungsi untuk
mengalirkan udara dari luar ke dalam bangunan, dan sebaliknya, oleh karena itu,
ukuran dari bouvenlicht harus disesuaikan dengan kondisi
cuaca. Dalam penggunaannya, dapat diusahakan agar bouvenlicht terhindar
dari sinar matahari secara langsung. Rangka jendela setelah direvitalisasi
menggunakan rangka aluminium dengan mengikuti bentuk jendela lama seperti
aslinya.
● Dormer
Dormer/Cerobong
asap semu, berfungsi untuk penghawaan dan pencahayaan. Di tempat
asalnya, Belanda, dormer biasanya menjulang tinggi dan
digunakan sebagai ruang atau cerobong asap untuk perapian. Biasanya
diwujudkan dalam bentuk hiasan batu yang diberi ornamen berbentuk
bunga atau sulur-suluran. Sebelum direvitalisasi, dormer dan atap bangunan sudah rubuh, dan setelah
direvitalisasi dibangun kembali mengikuti bentuk yang lama.
● Pintu
Bentuk
pintu juga sama dengan jendela, berupa melengkung agar terjadinya pertukaran
udara yang seirama dengan elemen jendela yang lainnya. Setelah direvitalisasi, pintu
menggunakan rangka aluminium.
● Warna
Warna
bangunan menunjukkan warna putih yang memang warna primer pada bangunan
kolonial. Dan juga dikarenakan fungsi bangunan ini memang untuk asuransi dan milik
BUMN, warna putih menandakan warna formal pada bangunan.
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah bahwa bangunan gedung Jasa
Raharja sempat memiliki kerusakan dan rawan roboh, setelah direvitalisasi
banyak bagian-bagian bangunan sama dengan bentuk bangunan lamanya, dikarenakan
sifat pemugaran revitalisasi bangunan ini tergolong B, atau berarti harus
bersifat asli dengan bangunan lamanya walaupun sudah hancur dan dapat
diinovasikan dengan penggunaan material yang lebih modern.
3.3 Gedung Banteng
Gedung Banteng atau Banteng Building
merupakan sebuah bangunan tua yang berada di wilayah jalan Kali Besar. Lokasi
gedung ini berada di selatan Toko Merah, atau sebelah utara gedung Singa
Kuning.
Dulu, gedung ini merupakan gedung milik NV
Gebr. Sutorius & Co., yang diperkirakan dibangun pada abad 19. Hal ini bisa
ditelusur pada koran berbahasa Melayu, Pemberita Betawi, yang terbit antara
tahun 1884 hingga 1916. Dalam surat kabar tersebut, toko-toko serba ada di
Batavia mengiklankan produk-produk yang ada di tokonya kepada masyarakat luas
agar terkenal dan banyak pembeli. Toko serba ada yang ada di Batavia di
antaranya Toko Gebr. Sitorus & Co. di daerah Kali Besar Barat. Toko ini
menjual sejumlah besar lini produk, biasanya meliputi pakaian, perlengkapan
rumah tangga, dan barang-barang keperluan rumah tangga.
Orang
Eropa, yang pada umumnya didominasi oleh orang-orang Belanda yang bermukim di
Batavia, banyak yang berbelanja di Toko Gebr. Sitorus & Co. ini. Mereka
berbelanja untuk mencari barang kebutuhan yang diperlukan, seperti makanan dan
minuman dalam kaleng, barang-barang curah, kaus kaki maupun barang kebutuhan
lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya toko serba ada ini kala itu.
Kini,
gedung yang pernah digunakan untuk toko serba ada yang dikelola oleh NV Gebr.
Sitorus & Co. ini menjadi kantor sejumlah advokat dan pengacara maupun
notaris, seperti Kantor Advokat dan Pengacara Sjahrial Litoto, S.H. &
Associates, dan Kantor Notaris Besri Zakaria, S.H. Sedangkan, di lantai satunya
digunakan untuk Kantor Jasa Logistik TIKI.
3.3.1
Konservasi Gedung Banteng
Sebagai bangunan tua, tentu gedung banteng masuk kedalam satu diantara bangunan konservasi yang perlu dilestarikan. Bahkan, menurut data dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, gedung ini masuk ke dalam golongan A.
Sebagai bangunan tua, tentu gedung banteng masuk kedalam satu diantara bangunan konservasi yang perlu dilestarikan. Bahkan, menurut data dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, gedung ini masuk ke dalam golongan A.
Pada
golongan A, konservasi bangunan diatur cukup ketat, dimana bangunan harus tidak
boleh dibongkar atau diubah, namun dipertahankan sesuai dengan aslinya. Begitu
pun dalam hal perawatan, dimana bahan yang digunakan harus sejenis atau
berkarakter sama dengan aslinya, serta juga harus tetap mempertahankan
ornament-ornamen yang ada. Namun, fungsi bangunan dapat disesuaikan atau diubah
sesuai kebutuhan.
● Fasad
Masuknya Gedung Banteng ke
dalam bangunan konservasi tipe A, terlihat dari fasadnya yang masih kental
dengan gaya arsitektur kolonial. Atap bangunan berbentuk pelana, dengan
sopi-sopi yang berada disisi kanan dan kiri (bukan depan). Penutup atap
menggunakan genteng tanah liat yang terlihat menghitam karena pengaruh usia dan
cuaca. Di bagian dinding terdapat bukaan berupa 3 buah jendela kayu dengan
kisi-kisi. Dinding bangunan di cat menggunakan warna putih, dan terlihat sudah
pudar dan mengelupas disana-sini.
● Fungsi
Gedung
Banteng saat ini telah mengalami perubahan fungsi. Hal ini dapat dilakukan pada
bangunan golongan A, supaya bangunan dapat berfungsi sesuai kebutuhan. Dulu
bangunan ini merupakan sebuah toko serba ada, namun kini telah berubah fungsi
menjadi kantor firma hukum dan notaris, serta jasa logistik Tiki.
Dengan
adanya penyesuaian fungsi, bangunan tua diharapkan dapat dipergunakan, sehingga
lebih terawat dan tidak cepat rusak. Dengan begini, warisan arsitektur yang
penuh nilai-nilai sejarah dan budaya dapat dipertahankan dan dilestarikan.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar